Garut — jejakinformasijabar.com
Dugaan pemotongan Bantuan Langsung Tunai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (BLT DBH CHT) Tahun 2025 di Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, mencuat ke ruang publik. Praktik yang disinyalir sebagai “pengondisian” bantuan itu disebut-sebut mencapai Rp200 ribu per Keluarga Penerima Manfaat (KPM), dan berpotensi mencoreng tata kelola bantuan sosial di tingkat kecamatan.
Informasi tersebut terungkap dari penelusuran awak media di lapangan. Seorang KPM yang enggan disebutkan identitasnya mengaku hanya menerima bantuan sebesar Rp1 juta, dari nilai seharusnya Rp1,2 juta. Selisih Rp200 ribu itu, menurut pengakuannya, disetorkan kepada Ketua RT setempat dengan alasan “pengembalian”.
“Yang saya terima cuma satu juta rupiah. Katanya yang dua ratus ribu harus dikembalikan,” ujar KPM tersebut singkat.
Dugaan pengondisian tersebut diperkuat oleh informasi masyarakat yang menyebut bahwa sebelum pencairan BLT DBH CHT, telah digelar musyawarah terbatas. Musyawarah itu disebut hanya melibatkan para Ketua RW, tanpa menghadirkan KPM, dengan agenda pembahasan pemotongan bantuan sebesar Rp200 ribu per KPM.
Lebih lanjut, menurut informasi yang dihimpun dari berbagai sumber di lapangan, dana hasil pemotongan yang dikumpulkan dari seluruh KPM di Kecamatan Bayongbong tersebut diduga tidak disimpan dalam satu pos resmi, melainkan dibagikan kembali kepada sejumlah pihak, mulai dari oknum RT dan RW, unsur lembaga di tingkat wilayah, hingga bahkan disebut-sebut mengalir atas nama awak media.
Informasi ini menimbulkan kegaduhan dan kecurigaan publik, karena berpotensi menyeret pihak-pihak yang seharusnya tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan penyaluran bantuan sosial.
Namun, saat dikonfirmasi terpisah, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kecamatan Bayongbong, Majid, membantah keras adanya pengondisian maupun pemotongan bantuan. Ia mengaku tidak mengetahui secara detail mekanisme pencairan BLT DBH CHT tahun ini.
“Urusan itu saya tidak tahu. Jumlah KPM maupun pencairannya seperti apa saya tidak paham, karena sekarang saya sudah tidak dilibatkan. Itu langsung antara pihak desa dan kantor pos,” ujar Majid kepada awak media.
Majid menegaskan, jika benar terjadi pemotongan, maka hal tersebut bukan atas sepengetahuannya.
“Saya gak tahu itu. Mungkin kalau ada, itu di bawah saja. Urusan cairnya pun saya gak tahu,” tambahnya.
Namun, di hari yang sama, keterangan berbeda justru muncul dari salah satu Ketua RT di wilayah Kecamatan Bayongbong. Ketua RT tersebut membenarkan adanya pemotongan Rp200 ribu per KPM. Ia mengklaim hanya menjalankan perintah dari Ketua RW, yang menurutnya merupakan hasil musyawarah dan disebut-sebut sebagai instruksi Ketua APTI.
“Saya hanya menjalankan perintah saja, Pak. Tidak menekan atau memaksa KPM. Saya hanya menyampaikan sesuai perintah RW ke saya. Katanya hasil musyawarah dan instruksi Ketua APTI harus ada pengembalian dua ratus ribu per KPM,” ujar Ketua RT tersebut.
Jika dugaan ini terbukti, maka persoalan tersebut bukan perkara kecil. Dengan jumlah KPM di Kecamatan Bayongbong yang disebut mencapai lebih dari 400 orang, potensi total dana yang diduga dipotong bisa mencapai puluhan juta rupiah. Praktik tersebut berpotensi melanggar prinsip penyaluran bantuan sosial yang mewajibkan bantuan diterima utuh oleh KPM, tanpa potongan dalam bentuk apa pun, sebagaimana diatur dalam ketentuan pengelolaan DBH CHT.
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak pemerintah kecamatan, pemerintah desa, pendamping program, maupun instansi berwenang terkait penyaluran BLT DBH CHT di Kecamatan Bayongbong. Awak media masih berupaya meminta penjelasan lanjutan guna memastikan duduk perkara secara utuh, transparan, dan berimbang.
( F. BOY/ Kaperwil provinsi Jabar )
